Senin, 29 April 2013

Amburadulnya UN 2013, siapa yang salah?



                                        
          Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat SMA, SMK, MA, di 11 provinsi Indonesia tak berjalan sesuai jadwal yang telah ditentukan secara serentak. Pelaksanaan UN ditunda dari yang direncanakan pada hari Senin, 15 April 2013 menjadi mundur pada hari Kamis tanggal 18 April 2013. Hal ini dikarenakan keterlambatan naskah soal. Sementara keluhan bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN pada hari Senin, 15 April 2013. Mulai dari kualitas lembar jawaban UN yang sangat tipis, tertukarnya paket-paket soal, dan kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, sehingga mengkomplitkan kekacauan pelaksanaan UN. Analisis saya, kejadian ini menjadi tamparan  untuk dunia pendidikan Indonesia. Pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan UN 2013 seperti tidak ada persiapan padahal dana Anggaran UN mencapai Rp 94,8 milyar tapi penyelenggaraannya kacau. Dan lebih membuat geram lagi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) malah menyalahkan PT Ghalia Printing Indonesia (perusahaan percetakan) yang tidak bisa menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Seharusnya Kemendikbud mengevaluasi diri, mengapa hal seperti bisa terjadi. 

           Menurut pandangan saya, masalah tersebut terjadi karena adanya oknum tertentu yang mengambil keuntungan dalam proyek pencetakan soal ujian. Sungguh sangat disesalkan oknum yang seharusnya memajukan dan membenahi pendidikan malah sebaliknya. Ini bisa berakibat fatal terhadap peserta didik. Kecemasan peserta didik dalam menghadapi UN membuat mereka tidak lagi menikmati proses belajar. Mereka menjadi sibuk  mencari jalan instant untuk bisa lulus dengan bersusah payah murid membayar lagi mengikuti bimbel 3 bulan, terutama mengambil pelajaran tambahan dan latihan-latihan ujian. UN juga merampas paksa pekerjaan guru, bukannya menyerahkan kelulusan kepada guru melalui proses sidang dewan guru sekolah, UN justru merampas bagian yang amat penting dari tanggung jawab profesional guru untuk mengevaluasi kinerja belajar murid-murid yang diasuhnya bertahun-tahun. UN juga menyamaratakan antara kota besar dan desa pinggiran, menyampingkan keragaman kondisi masing-masing daerah. dengan desain UN saat ini, peserta didik yang berbakat di bidang seni dan olahraga dirugikan karena tidak ada UN untuk pelajaran seni dan olahraga. pelajaran yang tidak di-un kan akan diabaikan begitu memasuki semester-semester terakhir sehingga tidak ada lagi kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan peserta didik diganti dengan drill dan tryout, jam belajar ditambah hingga sore dan juga pada akhir pekan. Tidak jarang anak mengalami kelelahan fisik dan mental menjelang UN. Murid membutuhkan sebuah evaluasi yang mampu mengukur kompetensi yang diminatinya untuk dikembangkan bagi karirnya  di masa depan.     
    
            
          Sementara itu, dalam sebuah penelitian membingkai dampak negatif ujian kelulusan, di antaranya: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus kecurangan. Saya berharap dengan kejadian ini pelaksanaan UN 2013 ini menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memutuskan UN untuk dilanjutkan atau dihapuskan. Disini saya menyarankan kepada Yth. Bapak Menteri Pendidikan M. Nuh, agar UN ditiadakan dan Lulus/Tidak Lulusnya Siswa dikembalikan kepada Guru dan Sekolah saja karena mereka yang lebih pantas dan lebih tahu siswa yang berhak Lulus dan Tidak Lulus. Soal mengukur dan melihat Kemajuan Mutu Pendidikan dicarikan cara lain. Terima kasih.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar